>> GANGGUAN SOMATOFORM
DEFENISI
Gangguan somatoform berasal dari kata “soma” berarti tubuh. Merupakan kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik yang tidak ditemukan penjelasan secara medis. Gejala gangguan ini adalah gangguan fisik yang tampak seperti disebabkan adanya kelainan fisik tetapi sebenarnya kelainan tersebut tidak ada. Orang yang mengalami gangguan ini mengeluhkan simtom-simtom fisik yang mengindikasikan kerusakan fisik(disfungsi) sehingga menyebabkan penderita stres emosional baik dalam kehidupan sosial maupun pekerjaan. Simtom-simtom fisik gangguan somatoform ini diduga terkait dengan faktor-faktor psikologis, diperkirakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.
Gangguan somatoform berasal dari kata “soma” berarti tubuh. Merupakan kelompok gangguan yang meliputi simtom fisik yang tidak ditemukan penjelasan secara medis. Gejala gangguan ini adalah gangguan fisik yang tampak seperti disebabkan adanya kelainan fisik tetapi sebenarnya kelainan tersebut tidak ada. Orang yang mengalami gangguan ini mengeluhkan simtom-simtom fisik yang mengindikasikan kerusakan fisik(disfungsi) sehingga menyebabkan penderita stres emosional baik dalam kehidupan sosial maupun pekerjaan. Simtom-simtom fisik gangguan somatoform ini diduga terkait dengan faktor-faktor psikologis, diperkirakan kecemasan, sehingga diasumsikan memiliki penyebab psikologis.
Gangguan somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.
Gangguan somatisasi telah dikenal sejak jaman Mesir kuno. Nama awal untuk gangguan somatisasi adalah histeria, suatu keadaan yang secara tidak tepat diperkirakan hanya mengenai wanita, (kata “Histeria” di dapatkan dari kata bahasa Yunani untuk rahim,Hystera). Pada abad ke-17 Thomas Syndenham menemukan bahwa faktor psikologis yang dinamakannya penderitaan yang mendahului (antecendent sorrow), terlibat dalam patogenesis gejala gangguan somatisasi.
Pada tahun 1859 Paul Briquet, seorang dokter Prancis, mengamati banyaknya gejala dan sistem organ yang terlibat dan perjalanan penyakit yang biasanya kronis. Karena pengamatan klinis tersebut maka gangguan ini dinamakan Sindroma Briquet. Akan tetapi sejak tahun 1980 sejak diperkenalkan DSM edisi ketiga (DSM III) istilah “Gangguan Somatisasi” menjadi standar di Amerika Serikat untuk gangguan yang ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.
Macam-macam gangguan somatoform yaitu :
- Gangguan nyeri
- Gangguan dismorfik tubuh
- Hipokondriasis
- Gangguan konversi
- Gangguan somatisasi
EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi gangguan somatoform.
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang disertai dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.
Macam-macam Gangguan Somatoform
1. Gangguan nyeri
- Gejala sakit atau nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat djelaskan dengan pemeriksaan medis (non psikiatris) maupun neurologis.
- Prevalensi gangguan nyeri pada perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar usia 40-50 tahun.
2. Gangguan dismorfik tubuh
- Preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata atau keluhan serta kekhawatiran yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Seringkali pada bagian wajah. Misalnya kerutan wajah, bulu di wajah yang lebat, bentuk atau ukuran hidung.
- Perempuan : lebih cenderung memfokuskan pada bagian kulit, dada, pinggul, paha, dan kaki.
- Pria : lebih terfokus pada tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh.
- Beberapa pasien yang mengalami gangguan ini dapat menghabiskan waktu selama berjam-jam memandangi diri mereka di depan cermin. Ada juga yang menghindarinya atau menutupi tubuhnya dengan pakaian yang longgar Kekhawatiran ini dapat mengakibatkan distress dan kadangkala memicu tindakan bunuh diri.
- Gangguan ini lebih banyak berpengaruh pada perempuan dibanding laki-laki, umumnya berawal pada masa remaja akhir (15-20 tahun), dan sering kali komorbid dengan depresi, fobia sosial, dan gangguan kepribadian.
- Penyebab gangguan ini belum diketahui secara pasti. Namun diperkirakan terdapat hubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial, dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan.
- Pada kasus lain keyakinan mengenai kerusakan/kekurangan tersebut sangat tidak berhubungan dengan realitas sehingga mengindikasikan suatu gangguan delusional. Faktor subjektif masih berperan aktif pada gangguan ini.
3. Hipokondriasis
- Gangguan somatoform dari hasil interpretasi individu (pasien) yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi sehingga terpreokupasi ketakutan mengalami suatu penyakit serius yang menetap terlepas dari kepastian medis yang menyatakan sebaliknya.
- Gangguan ini umumnya muncul pada masa dewasa awal (20-30 tahun). Prevalensi sekitar 4-6 % dalam populasi medis umum. Perbandingannya sama antara laki-laki dan perempuan dan cenderung memiliki perjalanan kronis. Berdasarkan kasus, lebih dari 60 % pasien terdiagnosis masih mengalami gangguan ini setelah 4-5 tahun kemudian.
4. Gangguan konversi
˜ Gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurolgis (simtom-simtom sensori atau motorik) yang mengindikasikan kerusakan neurologis walaupun secara fisiologis organ-organ tubuh dan sistem saraf dalam kondisi baik (normal).
˜ Individu dapat mengalami anesthesia (kelumpupuhan sebagaian/total), mengalami gangguan penglihatan, aphonia (kehilangan suara),anosmia (kehilangan kemampuan penciuman) atau simtom-simtom konversi lain.
˜ Pada gangguan ini faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan gangguan. Konversi juga tercermin dalam fakta munculnya yang secara mendadak dalam berbagai situasi penuh stres, yang seringkali memungkinkan individu menghindari beberapa aktivitas/tanggung jawab atau mendapatkan perhatian yang diinginkan.
˜ Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa awal, terutama setelah individu mengalami stres dalam kehidupan. Suatu episode dapat berakhir secara mendadak, namun sewaktu-waktu bisa kembali.
˜ Prevalensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk (kurang dari 1 %) dengan penderita perempuan 2 kali lebih banyak dibanding laki-laki. Akan tetapi pada PD I & PD II, sangat banyak laki-laki yang menderita masalah seperti gangguan konversi dalam pertempuran.
˜ Pada gangguan ini penderita mungkin menampilkan la belle indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian terhadap penyakitnya. Namun perilaku ini tidak selalu muncul pada semua penderita. Gangguan ini sering komorbid dengan berbagai diagnosis lain pada aksis I.
5. Gangguan somatisasi (Briquet’s syndrome)
: Gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium.
: Keluhan somatic yang tejadi berkali-kali berupa sakit kepala, lelah alergi, sakit perut, dada dan punggung, gangguan yang berhubungan dengan kelamin, jantung berdebar dan sering juga terjadi simtom konversi, kesulitan menstruasi, ketidak pedulian seksual.
: Gangguan ini bersifat kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun). Gangguan ini umumnya terjadi pada masa dewasa awal, lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki.
: Adapun DSM IV gejala-gejala yang muncul harus meliputi.
a) Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda (misalnya kepala, pundak, lutut, kaki).
b) Dua simtom gastrointenstinal (misalnya diare, mual).Satu simtom seksual yang berbeda dari rasa sakit/nyeri (misalnya ketidakmam puan ereksi).
c) Satu simtom pseudoneurologis seperti pada gangguan konversi.
ETIOLOGI
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui secara pasti tetapi diduga terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya gangguan somatisasi yakni:
1. Faktor Psikososial
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai sutu tipe komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh: mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan atau keyakinan (sebagai contoh: nyeri pada usus seseorang).
Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi berasal dari rumah yang tidak setabil dan telah mengalami penyiksaan fisik. Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat dalam perkembangan gangguan somatisasi.
2. Faktor Biologis
Ditemukan adanya faktor genetik dalam transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan. Selain itu diduga terdapat regulasi abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan pada gangguan somatisasi.
MANIFESTASI KLINIS
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak terjadi kelainan yang mendasari keluhannya.
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum diperkirakan 0,1 – 0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 – 2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun).
Beberapa peneliti menemukan bahwa ggangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan mental lainnya. Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan diri sendiri dan obsesif konpulsif.
Keluhan dibedakan tiap subtipe, yaitu:
- Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ
- Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis
- Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan daripada kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu
- Gangguan dismorfik tubuh, ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat
- Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
Pasien juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan meskipun didapatkan gejala-gejala ansietas dan depresi. Tidak adanya saling pengertian antara dokter dan pasien mengenai kemungkinan penyebab keluhan-keluhannya menimbulkan frustasi dan kekecewaan pada kedua belah pihak.
PATOGENESIS
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan keluarga yang berkepanjangan. Gangguan somatisasi berlangsung kronik, umumnya dimulai sebelum usia 30 tahun. Prognosis umumnya sedang sampai buruk.
Episode peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan berlangsung 6 – 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan. Tetapi jarang seorang pasien dengan gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu perhatian medis.
Prognosis gangguan konversi baik apabila timbul tiba-tiba, stresor mudah dikenali, penyesuaian pramorbid yang baik, tidak ada gangguan psikiatrik atau medis komorbid, dan tidak ada tuntutan yang terus menerus.
Hipokondriasis berlangsung episodik. Setiap episode berlangsung beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dipisahkan oleh episode tenang yang sama panjangnya. Prog nosis baik berhubungan dengan status sosioekonomi yang tinggi, awal yang tiba-tiba, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medis nonpsikiatri yang menyertai.
Gangguan dismorfik tubuh biasanya muncul bertahap. Namun dapat berlangsung kronik jika tidak diobati. Prognosis belum diketahui secara pasti.
Nyeri pada gangguan nyeri biasanya berlangsung secara tiba-tiba selama beberapa minggu atau beberapa bulan selanjutnya. Biasanya berlangsung kronik dengan prognosis bervariasi. Prognosis buruk bila terdapat gangguan depresi, gangguan kepribadian tergantung atau histrionik, dan penyalahgunaan alkohol atau zat lain.
Seringkali terdapat hubungan antara periode peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik. Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang sampai buruk.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:
1. Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun.
2. Selalu tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
3. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya
Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang dapat menjelaskan gejala pasien. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis multiple, miastenia gravis, lupus eritematosus sistemik kronis. Selain itu juga harus dibedakan dari gangguan depresi berat, gangguan kecemasan (anxietas), gangguan hipokondrik dan skizofrenia dengan gangguan waham somatik.
PENGOBATAN
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
1. Terapi untuk Gangguan Somatis
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval satu bulan.
Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
1. Terapi untuk Gangguan Somatis
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan umumnya. Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang teratur, biasanya dengan interval satu bulan.
Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis, dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis. Tetapi, pasien dengan gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala penyakit. Psikoterapi dilakukan baik individual dan kelompok. Dalam lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka.
Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.
2. Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis. Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan. Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit.
3. Terapi untuk Gangguan Rasa Nyeri
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :
Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita relaxation training memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri
Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan
PENATALAKSANAAN
Gangguan somatisasi ditatalaksana dengan ikatan terapeutik, perjanjian teratur, dan intervensi krisis.
Penatalaksanaan untuk gangguan konversi adalah sugesti dan persuasi dengan berbagai teknik. Strategi penatalaksanaan pada hipokondriasis meliputi pencatatan gejala, tinjauan psikososial, dan psikoterapi.
Gangguan dismorfik tubuh diterapi dengan ikatan terapeutik, penatalaksanaan stres, psikoterapi, dan pemberian antidepresan.
Terapi pada gangguan nyeri mencakup ikatan terapeutik, menentukan kembali tujuan terapi, dan pemberian antidepresan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar